Pernahkah Anda mengalami stok produk yang dulu laku keras, tapi kini justru menumpuk di gudang tanpa ada pembeli? Padahal barangnya sama, kualitasnya tidak berubah, bahkan harganya masih kompetitif. Fenomena ini sering disebut dead stock, dan faktanya bisa menimpa bisnis mana pun baik UMKM maupun perusahaan besar.
Namun, yang menarik bukan hanya soal produk yang tidak laku, melainkan mengapa produk yang sama juga bisa berubah nasib di waktu berbeda. Mari kita bahas dari sisi perilaku pasar, manajemen stok, hingga peran sistem otomatisasi dalam menghindarinya.
Pergeseran Tren dan Preferensi Konsumen
Selera pelanggan sering kali berubah tanpa peringatan, produk yang sedang “hype” di bulan ini bisa jadi kehilangan daya tarik di bulan berikutnya. Laporan Mid-Year Consumer Outlook: Guide to 2025 dari NielsenIQ menyebut bahwa konsumen Indonesia makin selektif dan eksperimental dalam berbelanja serta lebih berhati-hati karena kenaikan harga dan ekonomi
Artinya, jika bisnis tidak memantau pola perubahan minat konsumen, stok lama bisa cepat menjadi tidak relevan. Contoh sederhananya minuman kopi dalam kemasan yang dulu jadi favorit bisa tergeser oleh tren minuman kopi susu di cafe. Walau produk lama masih bagus namun pelanggan sudah beralih ke preferensi baru.
Kesalahan dalam Prediksi Permintaan
Banyak pelaku usaha mengandalkan intuisi atau pengalaman masa lalu untuk memesan stok baru. Padahal, data penjualan historis tidak selalu bisa jadi tolok ukur yang akurat, terutama jika ada perubahan eksternal seperti musim, momen liburan, atau perilaku pembelian online.
Misalnya, produk fashion yang laku keras menjelang Lebaran belum tentu terjual baik setelah musimnya lewat. Kesalahan kecil dalam proyeksi ini bisa menimbulkan efek besar: stok menumpuk, arus kas tersendat, dan ruang gudang terpakai sia-sia.
Laporan McKinsey yang berjudul “The State of Fashion 2025” menyinggung bahwa tren pakaian termasuk ke dalam kategori sangat fluktuatif (“micro-trends”). Ada beberapa pengaruh utama seperti musim, tren lokal, dan kondisi regional merupakan salah satu penyebab utama kesalahan prediksi stok. Kesalahan ini tidak jarang mencapai puluhan persen, tergantung kategori produk, karena forecast yang kurang sensitif terhadap variabel-musiman
Ketidakteraturan Manajemen Stok dan Data
Penyebab paling klasik dari dead stock adalah manajemen stok yang tidak tertata. Banyak UMKM masih mencatat stok secara manual atau melalui spreadsheet tanpa sinkronisasi dengan data penjualan aktual. Akibatnya, ketika produk tertentu mulai menurun performanya, sistem tidak langsung memberikan sinyal untuk menurunkan pembelian ulang.
Beberapa bisnis melaporkan bahwa penggunaan sistem manajemen stok otomatis dengan pelacakan real-time dapat mengurangi dead stock secara signifikan, meskipun angka pastinya bervariasi.
Baca juga: Cara Sinkronisasi Stok agar Operasional Bisnis Lebih Lancar
Strategi Promosi yang Tidak Diperbarui
Promosi lama sering kali masih dipakai meski perilaku pembeli sudah berubah. Contohnya, diskon yang dulunya menarik (seperti “Beli 2 Gratis 1”) kini bisa kalah saing dengan promo cashback atau bundling produk.
Ketika strategi pemasaran tidak menyesuaikan dengan pola baru pembelian, produk yang sama bisa kehilangan momentum. Beberapa laporan tren sales dan marketing menunjukkan bahwa brand yang menggunakan data penjualan secara rutin (termasuk update mingguan) memiliki peluang lebih baik dalam menghindari penumpukan stok, meskipun angka spesifik bervariasi antar kasus
Kurangnya Integrasi antara Penjualan dan Gudang
Salah satu alasan utama mengapa stok tidak bergerak adalah kurangnya komunikasi antara tim penjualan dan tim gudang. Penjualan bisa saja menargetkan produk A, sementara gudang justru kelebihan stok produk B karena data tidak sinkron.
Jika sistem tidak terintegrasi, pelaku usaha sering kali baru sadar setelah stok sudah menumpuk. Dengan integrasi data antara Order Management System (OMS) dan Customer Relationship Management (CRM), bisnis bisa memantau alur pesanan, stok, serta tren pembelian pelanggan dalam satu dashboard.
Penjualan Satu Kanal
Ketika bisnis hanya fokus pada satu kanal penjualan, misalnya marketplace, maka mereka bergantung penuh pada algoritma dan traffic dari platform tersebut. Masalahnya, algoritma marketplace bisa berubah sewaktu-waktu. Begitu visibilitas produk menurun, stok pun mulai menumpuk.
Sementara itu, pelanggan yang lebih aktif di kanal lain seperti WhatsApp atau Instagram tidak mendapat akses langsung untuk membeli produk tersebut. Beberapa laporan menunjukkan bahwa bisnis yang mengandalkan satu kanal penjualan cenderung lebih rentan terhadap stok lama atau stagnasi dibanding bisnis yang menggunakan strategi omnichannel. Penggunaan lebih dari satu kanal membantu memperluas jangkauan, meningkatkan retensi, dan memungkinkan respons yang lebih cepat terhadap tren permintaan.
Omnichannel Selling, Solusi Menghindari Stok Mati
Omnichannel selling memungkinkan bisnis mengintegrasikan semua saluran penjualan ke dalam satu sistem terpadu. Artinya, stok di toko fisik, marketplace, dan website akan tersinkronisasi otomatis. Jika satu produk terjual di WhatsApp, sistem akan langsung memperbarui jumlah stok di semua kanal lain sehingga tidak ada tumpang tindih atau stok yang tak terpantau.
Contohnya, sebuah toko sepatu menjual produk yang sama di marketplace dan website. Ketika pelanggan membeli sepatu melalui chat WhatsApp, sistem akan langsung memperbarui stok di marketplace. Hasilnya, stok selalu akurat, pelanggan tidak kecewa karena “barang habis”, dan risiko overstock bisa dihindari.
Laporan McKinsey “The Winning Formula: What It Takes to Build Leading Omnichannel Operations” menyebut bahwa perusahaan yang sukses dalam transformasi omnichannel mendapatkan visibilitas inventori yang lebih baik dan peningkatan turnover stok.
Dampak Positif Omnichannel terhadap Dead Stock
-
-
- Perputaran stok lebih cepat: produk bisa dijual lintas kanal sesuai perilaku pelanggan.
- Data penjualan lebih akurat: sistem mencatat performa produk di tiap kanal secara menyeluruh.
- Pengambilan keputusan berbasis data: bisnis bisa memutuskan kapan waktu terbaik untuk promosi, restock, atau redistribusi stok.
- Minim risiko kehilangan peluang penjualan: pelanggan bisa bertransaksi di kanal yang paling nyaman bagi mereka.
-
Menurut beberapa laporan dan studi industri, bisnis yang menggunakan strategi omnichannel secara komprehensif melihat peningkatan loyalitas pelanggan dan pengurangan sampah inventori. Meski angka pastinya bervariasi, manfaatnya nyata terutama karena pelanggan mendapatkan pengalaman multi-kanal yang lebih mulus dan perusahaan bisa menyesuaikan stok berdasarkan demand nyata.
Cara Menghindari Produk Menjadi Dead Stock
Beberapa langkah sederhana dapat membantu bisnis menjaga keseimbangan stok:
-
-
- Gunakan data penjualan real-time untuk memantau produk cepat dan lambat laku.
- Terapkan sistem FIFO (First In, First Out) untuk mencegah stok lama menumpuk.
- Analisis permintaan berdasarkan musim dan wilayah.
- Gunakan sistem otomatis agar pembaruan stok dan laporan penjualan saling terhubung.
-
Dengan dukungan sistem yang tepat, pelaku usaha bisa memprediksi tren lebih akurat dan mengambil keputusan pembelian stok secara efisien.
Kesimpulan
Produk yang sama bisa jadi dead stock di waktu berbeda bukan karena kualitasnya menurun, tapi karena data dan strategi bisnis tidak berjalan beriringan dengan perubahan pasar ataupun sistem penjualan yang tidak terintegrasi.
Bisnis yang mampu membaca data, memperbarui strategi promosi, stok tetap seimbang di setiap kanal, dan mengelola stok secara otomatis memiliki peluang lebih besar untuk mempertahankan efisiensi dan profitabilitas.
Untuk membantu UMKM menghindari masalah dead stock, Dazo menghadirkan aplikasi Order Management System (OMS) yang memudahkan pemantauan seluruh proses pesanan mulai dari penerimaan, stok, hingga pengiriman. Dengan sistem ini, Anda bisa:
-
-
- Memantau pergerakan barang secara real-time
- Mengelola stok otomatis antar cabang di setiap channel penjualan
- Menyusun laporan penjualan berbasis data
-
Kelola bisnis Anda dengan lebih efisien dan akurat bersama Dazo karena keputusan terbaik selalu lahir dari data yang terkelola dengan baik.
Referensi
NielsenIQ Mid-Year Consumer Outlook: Konsumen Indonesia Lebih Berhati-hati Dalam Berbelanja, 2024 (industry.co.id)
The State of Fashion 2025, 2025 (mckinsey.com)
The winning formula: What it takes to build leading omnichannel operations, 2021 (mckinsey.com)